Senin, 01 Juni 2015

IV. Imperium dalam Praktik: Karya Verdi "Aida"

Kini saya ingin menunjukkan seberapa jauh dan seberapa inventif materi ini mempengaruhi bidang-bidang aktivitas budaya tertentu, meskipun bidang-bidang itu kini tidak dikaitkan dengan eksploitasi imperial yang kotor. Kita beruntung karena beberapa sarjana usia muda telah mengembangkan telaah kekuasaan imperial secara cukup memadai untuk memungkinkan kita mengamati komponen estetis yang tercakup dalam penelitian dan administrasi Mesir dan India. Saya memikirkan, misalnya, karya Timothy Mitchell Colonising Egypt,[76]  di mana ditunjukkan bahwa praktik pembangunan desa-desa percontohan, ditemukannya keakraban dalam kehidupan harem, pembuatan cara-cara dalam perilaku militer di sebuah koloni Osmaniah tiruan, namun sesungguhnya Eropa, tidak hanya menegaskan kembali kekuasaan Eropa melainkan juga melahirkan kesenangan tambahan dalam meneliti dan menguasai tempat itu. Bahwa ikatan antara kekuasaan dan kesenangan dalam pemerintahan imperial ditunjukkan secara sangat bagus oleh Leila Keinney dan Zeynep Celik dalam telaah mereka tentang tari perut, di mana pameran-pameran sok etnografis yang dihasilkan oleh eksposisi-eksposisi Eropa dalam kenyataannya dikaitkan dengan kesantaian yang bersifat konsumeristis yang berasal dari Eropa.[77] Dua cabang yang berkaitan dengan ini digali dalam telaah T.J. Clark mengenai Manet dan para pelukis Paris lainnya. The Painting of Modern Life, terutama munculnya kesantaian dan erotisme yang tidak biasa di metropolitan Prancis, yang sebagian di antaranya dipengaruhi oleh contoh-contoh eksotik; dan bacaan dekonstruktif Malek Alloula atas kartu-kartu pos Prancis awal abad kedua puluh mengenai para wanita Algeria, Le Harem colonial.[78] Jelas bahwa dunia Timur adalah tempat yang menjanjikan dan kekuasaan sangat penting di sini.

Namun, saya ingin menyarankan mengapa usaha-usaha saya untuk membaca nada tambahan itu barangkali terdengar eksentrik atau aneh. Pertama, meskipun saya secara langsung melangkah pada jalur yang secara umum kronologis, dari awal hingga akhir abad kesembilan belas, sesungguhnya saya tidak sedang berusaha untuk mengetengahkan suatu rangkaian kejadian, kecenderungan, atau karya yang berurutan. Masing-masing karya individual dipandang dalam pengertian penafsiran masa lampau dan juga penafsiran di masa kemudian. Kedua, argumen keseluruhannya adalah bahwa karya-karya budaya yang menarik perhatian saya menyoroti dan ikut campur dengan kategori-kategori yang stabil dan kedap yang diciptakan menyangkut genre, periodisasi, kebangsaan, atau gaya bahasa, yaitu kategori-kategori yang menganggap bahwa dunia Barat dan kebudayaannya sangat tergantung pada kebudayaan-kebudayaan lain, dan pada upaya-upaya duniawi untuk mendapatkan kekayaan, otoritas, hak istimewa, dan dominasi. Sebaliknya, saya ingin menunjukkan bahwa ‘struktur sikap dan acuan’ itu lazim dan berpengaruh dengan segala cara, bentuk, dan tempat, bahkan jauh sebelum masa imperium secara resmi ditetepkan; jauh dari sifat otonom dan transenden, ia justru dekat pada dunia sejarah: dan bukannya telah dipastikan dan murni, ia justru merupakan cangkokan, yang ikut mengambil bagian dari keunggulan ras serta kecemerlangan artistik, dari otoritas politik serta otoritas teknik, dari teknik-teknik reduktif yang menyederhanakan serta teknik-teknik yang rumit.

Ingatlah Aida, opera ‘Mesir’ Verdi yang terkenal. Sebagai suatu tontonan visual, musikal, dan teatrikal, Aida menghasilkan banyak hal yang hebat demi dan dalam kebudayaan Eropa, yang salah satunya adalah menegaskan dunia Timur sebagai suatu tempat yang pada dasarnya eksotik, terpencil, dan antik di mana bangsa Eropa dapat menyusun pameran-pameran kekuatan tertentu. Bersamaan dengan disusunnya Aida, ekspansi-ekspansi ‘universal’ Eropa secara rutin memuat percontohan desa-desa, kota-kota, istana-istana kolonial dan yang semacamnya; sifat dapat ditempa dan dapat dipindahkan dari budaya-budaya sekunder atau budaya-budaya yang lebih kecil diberi tekanan. Budaya-budaya tersebut ditunjukkan di hadapan masyarakat Barat sebagai mikrokosmos dari bidang imperial yang lebih besar. Hanya sedikit, jika memang ada, kemungkinan yang diberikan kepada non-Eropa kecuali dalam kerangka ini.[79]

Aida sinonim dengan ‘grand opera’ khas abad kesembilan belas. Bersama sejumlah kecil opera lain, ia telah bertahan selama lebih dari satu abad baik sebagai suatu karya yang sangat populer maupun sebagai suatu karya yang untuknya para musisi, kritikus, dan ahli-ahli musikologi memberi penghormatan yang tinggi. Namun, kemegahan dan keutamaan Aida, meskipun sangat jelas bagi setiap orang yang telah melihat atau mendengarnya, merupakan masalah kompleks yang mengenainya segala macam teori spekulatif muncul, kebanyakan tentang apa yang menghubungkan Aida dengan momen sejarah dan kebudayaan di dunia Barat. Dalam Opera: The Extravagant Art, Herbert Lindenberger mengemukakan teori imajinatif bahwa Aida, Boris Godunov, dan Gotterdammerung adalah opera-opera dari 1870, yang secara berturut-turut terkait dengan arkeologi, historiografi nasionalis, dan filologi.[80] Wieland Wagner, yang memproduksi Aida di Berlin pada 1962, menganggap opera itu, dalam kata-katanya, sebagai ‘suatu misteri Afrika’. Dia melihat di dalamnya suatu prafigurasi dari karya kakeknya Tristan, dengan suatu konflik yang tidak dapat diperkecil lagi pada intinya antara Ethos dan Bios (‘Verdis Aida ist ein Drama des anuflosbaren Konflikts zwichen Ethos und Bios, zwischen dem moralischer Gesetz und den Forderungen des Lebens’.[81]). Dalam skemanya Amneris adalah tokoh utama, yang dikuasai oleh 'Riesenphallus‘, yang menggantung di sekitarnya bagaikan sebuah alat pemukul raksasa; menurut Opera, 'Aida terutama dianggap tak berdaya atau gemetar ketakutan di latar belakang‘.[82]

Bahkan jika mengabaikan kevulgaran pada adegan Kemenangan yang terkenal pada babak II, kita hendaknya mencatat bahwa Aida merupakan puncak perkembangan dalam gaya dan visi yang membawa Verdi dari Nabucco dan I Lombardi pada 1840-an, melalui Rigoletto, Trovatore, Traviata, Simon Boccanegra, dan Un Ballo in Maschera pada 1850-an, menuju Forza del Destino dan Don Carlos yang problematis pada 1860-an. Selama tiga dasawarsa Verdi telah menjadi komposer Italia terkemuka di zamannya, kariernya menyertai dan tampaknya mengomentari Risorgimento. Aida adalah opera publik dan politik terakhir yang ditulisnya sebelum dia berpaling kepada sepasang opera, Othello dan Falstaff, yang pada dasarnya bersifat domestik, tetapi intens, yang dengannya dia mengakhiri hidupnya sebagai komposer. Semua sarjana yang menelaah karya Verdi---Julian Budden, Frank Walker, William Weaver, Andrew Potter, Joseph Wechsborg---mencatat bahwa Aida tidak hanya memanfaatkan kembali bentuk-bentuk musik tradisional seperti cabaletta dan concertato tetapi juga menambahkan pada mereka suatu kromatisisme baru, kehalusan orkestrasi, dan pengaluran dramatis yang tidak terdapat dalam karya komposer lain yang mana pun di masa itu kecuali Wagner. Sangkalan Joseph Kerman dalam Opera as Drama, sangat menarik menyangkut sejauh mana ia mengakui keistimewaan Aida:

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar