Senin, 01 Juni 2015

VI. Pribumi di Bawah Kontrol

Saya telah berusaha, di satu pihak, untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek kebudayaan Eropa yang sedang berjalan yang dimanfaatkan oleh imperialisme ketika keberhasilan-keberhasilan datang semakin cepat dan, di pihak lain, untuk menggambarkan bagaimana mungkin bangsa imperial Eropa tidak mau atau tidak dapat melihat bahwa dia adalah seorang imperialis dan, ironisnya, bagaimana mungkin bangsa non-Eropa dalam keadaan yang sama memandang Eropa hanya sebagai imperialis. 'Bagi kaum pribumi', Fanon berkata, nilai Eropa seperti 'objektivitas selalu diarahkan melawannya'.[156]

Sekalipun demikian, dapatkah kita berbicara tentang imperialisme sebagai sesuatu yang demikian mendarah daging di Eropa abad kesembilan belas sehingga menjadi tidak terbedakan dari kebudayaan secara menyeluruh? Apakah arti 'imperialis' ketika ia dipakai untuk karya Kipling yang menunjukkan kecintaan berlebihan pada tanah air dan untuk karya sastranya yang lebih halus, atau untuk rekan-rekan sezaman Tennyson dan Ruskin? Apakah setiap artefak budaya itu secara teoretis terlibat?

Dua jawaban menampakkan diri. Tidak, harus kita katakan, konsep-konsep semacam 'imperialisme' mempunyai kualitas umum yang menutupi, dengan kekaburan yang tidak dapat diterima, sifat heterogen yang menarik dari kebudayaan-kebudayaan metropolitan Eropa. Diskriminasi harus ditarik antara satu jenis karya budaya dan jenis yang lain jika sampai pada keterlibatan dalam imperialisme; maka dapat kita katakan, bahwa dengan segala iliberalismenya mengenai India, John Stuart Mill lebih kompleks dan lebih terbuka dalam sikapnya menghadapi pendapat tentang imperium dibanding Carlyle atau Ruskin (perilaku Mill dalam karya Eyre mempunyai dasar-dasar yang kuat, bahkan secara retrospektif mengagumkan.) Hal yang sama juga benar bagi Conrad dan Kipling sebagai artis jika dibandingkan dengan Buchan atau Haggard. Namun, keberatan bahwa kebudayaan hendaknya tidak dianggap sebagai bagian dari imperialisme dapat menjadi suatu taktik untuk mencegah kita agar tidak secara serius mengaitkan keduanya. Dengan mengamati kebudayaan dan imperialisme secara cermat, kita akan dapat menemukan berbagai bentuk dalam hubungan itu, dan kita akan menyaksikan bahwa kita dapat menarik hubungan-hubungan yang memperkaya dan mempertajam kemampuan kita dalam membaca teks-teks kebudayaan yang utama. Hal yang paradoks, tentunya, adalah bahwa kebudayaan Eropa tidak kurang kompleks, kaya atau menariknya, karena telah menunjang hampir seluruh pengalaman imperial.

Mari kita melihat pada Conrad atau Flaubert, para penulis yang bekerja pada paruh kedua abad kesembilan belas, yang pertama secara terbuka menunjukkan perhatiannya pada imperialisme, dan yang kedua secara terselubung terlibat dengannya. Lepas dari perbedaan-perbedaan mereka, kedua penulis ini sama-sama menekankan tokoh-tokoh yang kemampuannya untuk memisahkan dan mengelilingi dirinya dengan struktur-struktur yang mereka ciptakan mengambil bentuk yang sama sebagai penjajah di pusat imperium yang dikuasainya. Axel Heyst dalam Victory dan St Antoine dalam La Tentation---karya-karya baru, dua-duanya---ditarik ke suatu tempat di mana, seperti para penjaga dari suatu totalitas magis, mereka membangun suatu dunia penuh permusuhan yang dibersihkan dari perlawanan-perlawanan yang menyulitkan terhadap kontrol mereka atasnya. Penarikan diri ke tempat-tempat terpencil ini mempunyai sejarah panjang dalam fiksi Conrad---Almayer, Kurtz di Inner Station, Jim di Patusan, dan yang paling mengesankan adalah Charles Gould di Sulaco; dalam karya Flaubert mereka berulang dengan intensitas yang semakin besar setelah Madame Bovary. Namun, tidak seperti Robinson Crusoe di pulaunya, versi-versi modern dari tokoh imperialis yang berusaha untuk menebus dirinya itu secara ironis dipaksa untuk menghadapi gangguan dan interupsi, sebab apa yang mereka ingin keluarkan dari dunia pulau mereka bagaimanapun tetap menyusup masuk. Pengaruh tersembunyi kontrol imperial dalam kiasan Flaubert mengenai keangkuhan soliternya sangat mengejutkan jika dijajarkan dengan gambaran-gambaran terbuka Conrad.

Dalam aturan-aturan fiksi Eropa, gangguan-gangguan dari suatu rancangan imperial ini merupakan peringatan yang realistik bahwa tak seorang pun sesungguhnya dapat menarik diri dari dunia untuk masuk ke dalam suatu versi realitas pribadi. Kaitannya dengan Don Quixote tampak jelas, begitu pula kesinambungan dengan aspek-aspek institusional bentuk novel itu sendiri, di mana individu yang menyimpang biasanya ditertibkan dan dihukum demi kepentingan jati diri korporat. Dalam latar kolonial Conrad yang tampak jelas, gangguan-gangguan ini berasal dari orang-orang Eropa, dan mereka terlibat dalam suatu struktur narasi yang secara retrospektif menyerah kembali pada penelitian cermat Eropa atas penafsiran dan pertanyaan. Kita melihat ini mula-mula dalam Lord Jim dan kemudian dalam Victory: sebagai seorang kulit putih idealistis atau yang menarik diri (Jim, Heyst) menjalani kehidupan dalam pengasingan, ruangnya diserbu oleh emanasi-emanasi Mephistofelia, petualang-petualang yang pelanggarannya diteliti secara retrospektif oleh seorang kulit putih yang menuturkan ceritanya.

Heart of Darkness adalah sebuah contoh lain. Pendengar Marlow adalah orang Inggris, dan Marlow sendiri menyusup ke dalam wilayah pribadi Kurtz sebagai suatu pemikiran Barat yang ingin tahu dan berusaha untuk memperhatikan wahyu apokaliptik. Hampir seluruh bacaan secara tepat menunjukkan skeptisisme Conrad mengenai upaya kolonial, tetapi mereka jarang sekali menyatakan bahwa dalam menyampaikan cerita tentang perjalanan Afrika-nya Marlow mengulang dan menegaskan aksi Kurtz: mengembalikan Afrika pada hegemoni Eropa dengan jalan memasukkannya ke dalam sejarah dan mengisahkan keanehan-keanehannya. Orang-orang liar, hutan belantara, bahkan ketololan permukaan dari rumah-rumah kerang yang meletup menjadi sebuah benua yang luas---semua ini menekankan kembali kebutuhan Marlow untuk menempatkan koloni-koloni itu pada peta imperial dan di bawah temporalitas sejarah yang dapat diceritakan, tak soal seberapa rumit dan berbelit-belit hasilnya.

Padanan-padanan historis Marlow, dengan mengambil dua contoh menonjol, adalah Sir Henry Maine dan Sir Roderick Murchison, orang-orang yang terkenal karena karya besar mereka dalam bidang ilmu dan kebudayaan---karya yang tidak dapat dipahami kecuali dalam konteks imperial-nya. Telaah besar Maine Ancient Law (1861) menyelidiki struktur hukum dalam suatu masyarakat patriarkhal primitif yang menyetujui hak istimewa bagi 'status' tertentu dan tidak dapat menjadi modern hingga terjadi transformasi menjadi suatu basis 'kontraktual'. Maine secara luas biasa meramalkan sejarah Foucault, dalam Discipline and Punish, mengenai pergeseran di Eropa dari pengawasan 'berdaulat' menuju pengawasan administratif. Perbedaannya adalah bahwa bagi Maine imperium menjadi semacam laboratorium untuk membuktikan teorinya (Foucault memanfaatkan Benthamite Panopticon yang digunakan dalam fasilitas-fasilitas koreksional Eropa sebagai buku teorinya): ditunjuk sebagai anggota sah Dewan Raja Muda di India, Maine menganggap persinggahannya di Timur sebagai suatu 'tugas lapangan yang diperluas'. Dia memerangi kaum Utilitarian dalam masalah-masalah menyangkut reformasi besar-besaran dari perundang-undangan India (dua ratus bagian di antaranya ditulis olehnya), dan menafsirkan tugasnya sebagai pengenalan dan pelestarian bangsa India yang dapat diselamatkan dari 'status' dan, sebagai golongan elite yang dijaga dengan hati-hati, menyadarkannya akan landasan kontraktual kebijaksanaan Inggris. Dalam Village Communities (1871) dan kemudian dalam Kuliah Rede-nya, Maine mengemukakan secara garis besar suatu teori yang sangat menyerupai teori Marx: bahwa feodalisme di India, yang ditentang oleh kolonialisme Inggris, adalah suatu perkembangan yang penting pada saatnya, dia berargumen, seorang tuan feodal akan membangun landasan bagi pemilikan individual dan memungkinkan munculnya suatu prototip borjuis.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar