Senin, 01 Juni 2015

VII. Camus dan Pengalaman Imperial Prancis

Namun, tidak semua imperium sama. Imperium Prancis, menurut salah seorang ahli sejarahnya yang paling terkenal, meskipun tidak kalah tertariknya dibanding Inggris pada keuntungan, perkebunan, dan budak-budak, disemangati oleh 'gengsi'.[173] Berbagai wilayah yang diperoleh (dan kadang-kadang hilang) selama lebih dari tiga ratus tahun dipimpin oleh 'jenius'-nya yang mendatangkan penerangan, yang sendirinya merupakan fungsi dari 'vocation superieure' Prancis, dalam kata-kata Delavigne dan Charles Andre Julien, penyusun sebuah karya memikat, Les Constructeurs de la France d'outre-mer.[174] Jajaran tokoh mereka dimulai dengan Champalin dan Richeliu, mencakup prokonsul-prokonsul yang mengagumkan seperti Bugeaud, penakluk Aljazair; Brazza, orang yang mendirikan Kongo Prancis; Gallieni, penjinak Madagaskar; dan Lyautey, yang bersama Cromer merupakan penguasa-penguasa Eropa terbesar di kalangan bangsa Arab Muslim. Kita melihat adanya sedikit padanan dari 'pandangan departemental' di Inggris, dan jauh lebih banyak lagi gaya pribadi sebagai orang Prancis dalam suatu upaya asimilasi besar.

Entah ini mungkin hanya persepsi diri Prancis saja tidaklah menjadi masalah benar, sebab konsistensi dan keteraturan imbauan itu merupakan kekuatan penggerak dalam membenarkan pencaplokan wilayah sebelum, selama, dan setelah fakta tersebut. Ketika Seeley (bukunya yang terkenal diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada 1885, dan banyak dikagumi dan diulas) membicarakan tentang imperium Inggris bahwa itu diperoleh dengan cara asal-asalan, dia hanya menggambarkan suatu sikap yang berbeda dari sikap rekan-rekan penulis Prancis sezamannya mengenai imperium.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Agnes Murphy, perang Prancis-Prusia tahun 1870 secara langsung merangsang meningkatnya masyarakat geografis Prancis.[175] Pengetahuan dan penjelajahan geografi sejak itu terikat pada wacana (dan akuisisi) imperium, dalam tampilannya orang-orang seperti Eugene Etienne (pendiri Groupe Coloniale pada 1892) kita dapat merencanakan kebangkitan teori imperial Prancis menjadi hampir tepat seperti ilmu pengetahuan. Setelah 1872 dan untuk pertama kalinya, menurut Girardet, suatu doktrin yang koheren mengenai ekspansi kolonial dikembangkan di tingkat kepala negara Prancis; antara 1880 dan 1885 harta kekayaan kolonial Prancis bertambah dari 1,0 juta menjadi 9,5 juta kilometer persegi, dari lima menjadi lima puluh juta penduduk pribumi.[176] Pada kongres ilmu geografi internasional pada 1875, yang dihadiri oleh presiden Republik itu, Gubernur Paris, Presiden Dewan, Admiral La Roucière, pidato pembukaan Le Noury mengungkapkan sikap yang lazim dalam pertemuan itu: "Tuan-tuan, Tuhan telah menentukan bagi kita kewajiban untuk mengenal bumi dan menaklukkannya. Perintah tertinggi ini merupakan salah satu tugas berat yang dibebankan pada kita mengingat inteligensi dan aktivitas-aktivitas kita, Geografi, ilmu pengetahuan yang mengilhami kesetiaan yang begitu indah dan yang atas namanya begitu banyak korban telah diserahkan, telah menjadi filosofi di atas bumi ini.'[177]

Sosiologi (diilhami oleh Le Bon), psikologi (dimulai oleh Leopold de Saussure), sejarah, dan tentu saja antropologi berkembang dalam beberapa dasawarsa setelah 1880, kebanyakan di antara mereka berpuncak pada Kongres-kongres Kolonial Internasional (1889, 1894, dsb.) atau dalam kelompok-kelompok tertentu (misalnya Kongres Internasional mengenai Sosiologi Kolonial pada 1890 atau Kongres Ilmu-ilmu Etnografi di Paris pada 1902). Seluruh wilayah dunia dijadikan subjek perhatian ilmiah kolonial; Raymond Betts menyebutkan bahwa Revue internationale de sociologie melakukan survey-survey tahunan ke Madagaskar pada 1900, Laos dan Kambodia pada 1908[178] Teori ideologis mengenai asimilasi kolonial yang dimulai di bawah revolusi ambruk, sebagaimana teori-teori mengenai jenis-jenis ras---ras-ras primitif, inferior, pertengahan, dan superior dari Constave Le Bon; atau filosofi mengenai kekuatan murni dari Ernest Seillere; atau sistematika praktik kolonial dari Albert Sarraut dan Paul Leroy-Beaulieu; atau prinsip dominasi dari Jules Harmand[179]---menjadi pedoman bagi strategi-strategi imperial Prancis. Bangsa-bangsa pribumi dan tanah-tanah mereka tidak akan diperlakukan sebagai entitas-entitas yang dapat dibuat menjadi Prancis, melainkan sebagai harta kekayaan yang ciri-cirinya yang abadi menuntut pemisahan dan sikap tunduk, meskipun ini tidak mengesampingkan mission civilisatrice. Pengaruh Fouillee, Clozel, dan Giran mengubah gagasan-gagasan semacam itu menjadi suatu bahasa dan, dalam lingkup imperial itu sendiri, menjadi suatu praktik yang sangat menyerupai ilmu pengetahuan, yaitu ilmu memerintah bangsa-bangsa inferior yang sumber-sumber, tanah-tanah, dan nasibnya menjadi tanggung jawab Prancis. Paling-paling, hubungan Prancis dengan Aljazair, Senegal, Mauritania, Indocina merupakan asosiasi melalui 'kemitraan hierarkis', sebagaimana dikemukakan Rene Maunier dalam bukunya The Sociology of Colonies,[180] namun Betts dengan cepat memberikan catatan bahwa bagaimanapun juga teori mengenai 'imperialisme tidak timbul dengan sukarela, melainkan dengan paksaan, dan pada hakikatnya, menurut semua doktrin, hanya berhasil selama ultima ratio ini tampak jelas'.[181]

Membandingkan diskusi mengenai imperium oleh atau untuk Prancis dengan aktualitas-aktualitas penaklukan imperial berarti menghadapi banyak ketidaksesuaian dan ironi. Pertimbangan-pertimbangan pragmatis selalu diperbolehkan untuk orang-orang seperti Lyautey, Gallieni, Faidherbe, Bugeaud---para Jenderal, prokonsul, administrator---untuk bertindak dengan paksaan. Para politisi seperti Jules Ferry, yang mengetengahkan kebijaksanaan imperial setelah (dan semasa) fakta itu, memiliki hak untuk mendalilkan cita-cita yang merendahkan kaum pribumi seperti 'la gestion même et… le defense du patrimoine nationale'.[182] Untuk lobi-lobi dan apa yang kini kita sebut para wartawan---dari para novelis dan jingois hingga filosof-filosof mandarin---imperium Prancis secara unik terkait dengan jati diri nasional Prancis, kecemerlangannya, energi peradabannya, perkembangan geografi, sosial, dan sejarah yang istimewa. Tak satu pun dari hal ini yang konsisten atau berhubungan dengan kehidupan sehari-hari di Martinique, atau Aljazair, atau Gabon, atau Madagaskar, dan ini sulit bagi bangsa pribumi. Sebagai tambahan, imperium-imperium lain---Jerman, Belanda, Inggris, Belgia, Amerika---mendesak Prancis, mengobarkan peperangan habis-habisan dengannya (seperti di Fashoda), berunding dengannya (seperti di Arabia pada 1917-18), mengancam atau berusaha menandinginya.[183]

Di Aljazair, betapapun tidak konsistennya kebijaksanaan pemerintah Prancis sejak 1830, proses yang tak dapat ditawar-tawar lagi itu terus membuat Aljazair menjadi Prancis. Mula-mula tanahnya direbut dari kaum pribumi dan bangunan-bangunan mereka dikuasai; lalu para pemukim Prancis meraih kontrol atas hutan-hutan gabus-eik serta hasil-hasil tambang. Selanjutnya, sebagaimana yang ditulis oleh Prochaska untuk Annaba (di kemudian hari dinamakan Bone) 'mereka menggantikan orang-orang Aljazair dan memenuhi [tempat-tempat seperti] Bone dengan orang-orang Eropa'.[184] Selama beberapa dasawarsa setelah 1830 'modal rampasan' menjalankan roda ekonomi, populasi pribumi berkurang, dan kelompok-kelompok pemukim bertambah. Suatu perekonomian ganda muncul: 'Perekonomian Eropa pada umumnya dapat disamakan dengan perekonomian kapitalis yang berpusat pada perusahaan, sementara ekonomi Aljazair dapat dibandingkan dengan ekonomi prakapitalis yang berorientasi pasar'.[185] Maka sementara 'Prancis mereproduksi dirinya sendiri di Aljazair',[186] bangsa Aljazair disingkirkan ke wilayah pinggiran dan kemiskinan. Prochaska membandingkan suatu penjelasan colon Prancis mengenai kisah Bone dengan penjelasan dari seorang patriot Aljazair, yang versinya mengenai peristiwa-peristiwa di Annaba 'bagaikan membaca karya para ahli sejarah Prancis mengenai Bone yang diputar balik'.[187]

Di atas semua orang lain, Arnaud memproklamasikan kemajuan yang dibuat oleh Prancis di Bone setelah kekacauan yang ditinggalkan oleh bangsa Aljazair. 'Bukan karena "kota tua" itu kotor' sehingga harus dijaga keutuhannya, namun karena 'ia sendiri mengizinkan pengunjung… memahami kemegahan dan keindahan tugas yang diselesaikan Prancis di negeri ini, di tempat yang sebelumnya telah ditinggalkan, kering dan sesungguhnya tidak mengandung sumber-sumber alam', yaitu 'desa Arab yang kecil dan buruk yang dihuni oleh sekitar 1.500 orang' ini.[188]

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar