Senin, 01 Juni 2015

II. Jane Austen dan Imperium

Kita berada di atas dasar yang kuat bersama V.G. Kiernan ketika dia mengatakan bahwa 'imperium-imperium itu pasti mempunyai cetakan gagasan-gagasan atau refleks-refleks yang terkondisi untuk mengalir masuk, dan bangsa-bangsa yang muda mengimpikan tentang sebuah tempat yang bebas di dunia sebagaimana para pemuda mengimpikan kemasyhuran dan kekayaan'.[29] Sebagaimana telah selalu saya kemukakan, adalah terlalu sederhana dan reduktif jika kita mengatakan bahwa segala sesuatu dalam kebudayaan Eropa dan Amerika karenanya mempersiapkan atau mengkonsolidasikan gagasan besar mengenai imperium. Namun, adalah juga kurang tepat secara historis jika kita mengabaikan kecenderungan-kecenderungan itu---entah dalam narasi, teori politik, atau teknik-teknik penggambaran---yang memungkinkan, mendorong, dan bahkan menegaskan kesiapan Barat untuk menerima dan menikmati pengalaman imperium. Jika timbul suatu perlawanan budaya terhadap pendapat mengenai suatu misi imperial, tidak banyak dukungan bagi perlawanan itu dalam bagian-bagian utama pemikiran budaya. Meskipun liberal---John Stuart Mill---sebagai tokoh yang berpengaruh dalam bidang itu---masih dapat berkata 'Tugas-tugas suci yang harus dijalankan oleh bangsa-bangsa yang beradab demi kemerdekaan dan kebangsaan masing-masing, tidak mengikat mereka yang menganggap kebangsaan dan kemerdekaan adalah kejahatan, atau paling-paling kebaikan yang patut dipertanyakan'. Gagasan-gagasan seperti itu bukan asli dari Mill; mereka telah beredar ketika terjadi penaklukan Inggris atas Irlandia selama abad keenam belas dan, sebagaimana yang dikemukakan secara meyakinkan oleh Nicholas Canny, juga berguna dalam ideologi kolonialisasi Inggris di Amerika.[30] Hampir semua rencana kolonial dimulai dengan anggapan tentang keterbelakangan para penduduk pribumi dan ketidaklayakan umum merdeka, untuk 'berdiri sama tinggi', dan cocok.

Mengapa harus demikian, mengapa tugas suci di satu sektor tidak mengikat sektor lainnya, mengapa hak-hak yang diterima di satu pihak ditolak di pihak lain, adalah pertanyaan-pertanyaan yang paling tepat untuk dipahami dalam pengertian suatu kebudayaan yang mempunyai dasar kuat dalam norma-norma moral, ekonomi, dan bahkan metafisika yang dirancang untuk yang dirancang untuk menyetujui suatu tatanan lokal yang memuaskan, yaitu Eropa, dan untuk memungkinkan pembatalan hak bagi tatanan serupa di luar negeri. Pertanyaan semacam itu mungkin tampak tidak masuk akal atau ekstrem. Dalam kenyataannya, ia merumuskan kaitan antara kesejahteraan Eropa dan jati diri budaya di satu pihak dan, di lain pihak, penaklukan bidang-bidang imperial di luar negeri secara agak terlalu pilih-pilih dan agak terlalu hati-hati. Sebagian dari kesulitan kita hari ini untuk menerima kaitan apa saja adalah karena kita cenderung mengecilkan masalah yang rumit ini menjadi masalah kasual yang sederhana, yang pada gilirannya melahirkan retorika kesalahan dan pertahanan. Saya tidak mengatakan bahwa faktor utama dalam kebudayaan Eropa awal adalah bahwa ia menyebabkan timbulnya imperialisme akhir abad kesembilan belas, dan saya tidak mengisyaratkan bahwa semua masalah dunia bekas jajahan harus dianggap sebagai akibat tindakan Eropa. Tetapi, yang saya katakan adalah bahwa kebudayaan Eropa sering, jika tidak bisa dikatakan selalu, menggolongkan dirinya dengan cara sedemikian rupa sekaligus untuk mengesahkan preferensi-preferensinya sendiri yang berkaitan erat dengan pemerintahan imperial di wilayah-wilayah yang jauh. Mill jelas demikian: dia selalu menyarankan agar India tidak diberi kemerdekaan. Ketika karena berbagai alasan pemerintahan imperial menyangkut Eropa secara lebih intens setelah 1880, kebiasaan schizofrenik ini menjadi berguna.

Hal pertama yang harus dilakukan sekarang adalah kurang lebih membuang kausalitas sederhana dalam memikirkan secara mendalam hubungan antara Eropa dan dunia non-Eropa, dan melonggarkan cengkraman pada pikiran kita tentang rangkaian sementara yang sama sederhananya. Kita tidak boleh menerima pendapat, misalnya, bahwa usulan-usulan untuk membuktikan bahwa Wordsworth, Austen, atau Coleridge, karena mereka menulis sebelum 1857, sesungguhnya menyebabkan berdirinya kekuasaan pemerintahan Inggris yang resmi atas India setelah 1857. Kita hendaknya berusaha untuk melihat adanya nada tambahan antara pola-pola yang jelas dalam tulisan Inggris mengenai Inggris dan gambaran-gambaran tentang dunia di luar kepulauan Inggris. Cara yang inheren untuk nada tambahan ini tidak bersifat temporal melainkan spasial. Bagaimana para penulis selama periode sebelum zaman keemasan ekspansi kolonial yang jelas dan terprogram---katakanlah, 'perebutan Afrika'---menempatkan dan memandang diri dan karya mereka di dunia yang lebih besar? Kita akan mendapati mereka menggunakan strategi-strategi yang mencolok namun hati-hati, sebagian besar di antaranya berasal dari sumber-sumber yang diharapkan---gagasan-gagasan positif tentang tanah air, tentang sebuah bangsa dan bahasanya, tentang tatanan yang layak, perilaku yang baik, dan nilai-nilai moral.

Tetapi, gagasan-gagasan positif semacam ini melakukan lebih dari sekadar mengesahkan dunia 'kita'. Mereka juga cenderung untuk menurunkan nilai dunia-dunia lain dan, barangkali dari sudut pandang retrospektif, mereka tidak mencegah atau menghalangi atau memberikan perlawanan praktik-praktik imperialis yang secara menghebohkan tidak menarik. Tidak, bentuk-bentuk budaya seperti novel dan opera tidak menyebabkan orang-orang pergi dan mempraktikkan imperialisme---Carlyle tidak menggegaskan Rhodes secara langsung, dan dia jelas tidak dapat 'disalahkan' untuk masalah-masalah yang kini menimpa Afrika Selatan---tetapi memang sangat menyusahkan jika kita melihat betapa sedikitnya gagasan-gagasan kemanusiaan, institusi-institusi, dan monumen-monumen Inggris yang hebat, yang kita anggap masih memiliki kekuatan secara ahistoris untuk menentukan persetujuan kita, betapa kecilnya mereka ketika berdiri untuk menghalangi proses yang semakin cepat. Kita berhak untuk bertanya, bagaimana kumpulan gagasan-gagasan kemanusiaan ini hidup berdampingan dengan senang hati bersama imperialisme, dan mengapa---hingga berkembangnya perlawanan terhadap imperialisme di wilayah imperial di kalangan bangsa Afrika, Asia, dan Amerika Latin, hanya sedikit tantangan atau halangan bagi imperium di dalam negeri. Barangkali kebiasaan untuk membedakan tanah air 'kita' dan tanah air 'mereka' berkembang menjadi suatu pemerintahan politik yang kasar untuk mengumpulkan lebih banyak 'mereka' untuk diperintah, ditelaah, dan ditaklukkan. Dalam gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang besar dan manusiawi yang dikemukakan secara resmi oleh arus utama kebudayaan Eropa, kita mendapati 'cetakan gagasan-gagasan dan refleks-refleks yang terkondisi' yang dibicarakan oleh Kiernan, yang ke tempat itu seluruh masalah imperium mengalir.

Sejauh mana gagasan-gagasan ini sesungguhnya tertanam dalam pembedaan geografis di antara tempat-tempat yang nyata merupakan subjek buku yang sangat kaya dari Raymond Williams, The Country and the City. Argumennya menyangkut saling pengaruh antara tempat-tempat di pedesaan dan di perkotaan di Inggris menunjukkan perubahan-perubahan yang paling luar biasa---dari populisme pastoral Langland, melalui puisi-puisi rumah pedesaan Ben Johnson dan novel-novel London Dickens, hingga gambaran-gambaran tentang metropolis dalam kesusastraan abad kedua puluh. Terutama, tentunya, buku ini adalah tentang bagaimana kebudayaan Inggris membicarakan tanah, pemilikannya, imajinasinya, dan organisasinya. Dan sementara dia benar-benar menyinggung tentang ekspor Inggris ke koloni-koloni, Williams melakukan itu, sebagaimana saya kemukakan sebelumnya, dengan cara yang kurang begitu terfokus dan kurang ekpansif dibanding yang sesungguhnya dibenarkan oleh praktik itu. Mendekati akhir The Country and the City dia menyampaikan secara suka rela bahwa 'setidak-tidaknya, sejak pertengahan abad kesembilan belas, dan dengan kejadian-kejadian penting sebelumnya, telah ada konteks yang lebih besar ini [hubungan antara Inggris dan koloni-koloni yang pengaruhnya terhadap imajinasi Inggris 'telah berlangsung dengan mendalam daripada yang dapat dilacak dengan mudah'] yang di dalamnya setiap gagasan dan setiap cara-cara sadar dan tidak sadar dipengaruhi'. Dia melanjutkan dengan cepat mengutip 'gagasan tentang emigrasi ke koloni-koloni' sebagai citra semacam itu yang lazim dalam berbagai novel karya Dickens, Bronte bersaudara, Gaskell, dan secara tepat menunjukkan bahwa 'masyarakat pedesaan yang baru', yang kesemuanya kolonial, memasuki ekonomi metropolitan imajinatif kesusastraan Inggris via Kipling, Orwell di masa awalnya, dan Maugham. Setelah 1880, datanglah 'perluasan dramatis atas pemandangan alam dan hubungan-hubungan sosial': ini kurang lebih berkaitan dengan zaman kebesaran imperium.[31]

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar