Hampir di semua tempat dalam kebudayaan Inggris dan Prancis abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh kita mendapat kiasan-kiasan bagi fakta-fakta imperium, namun barangkali tidak ada yang lebih teratur dan lebih sering dibanding dalam novel Inggris. Jika dikumpulkan, kiasan-kiasan ini membentuk apa yang saya sebut struktur sikap dan acuan. Dalam Mansfield Park yang di dalamnya Jane Austen mendefinisikan secara hati-hati nilai-nilai moral dan sosial yang memberikan informasi tentang novel-novelnya yang lain, acuan-acuan terhadap harta milik Thomas Bertram di luar negeri disisipkan, mereka memberikan padanya kekayaan, menyebabkan kemangkirannya, menentukan status sosialnya di dalam dan di luar negeri, dan memungkinkan nilai-nilainya, yang untuknya Panny Price (dan Austen sendiri) akhirnya menyerah. Jika ini adalah novel tentang 'pentahbisan' sebagaimana dikatakan Austen, hak atas harta kolonial membantu secara langsung memantapkan tatanan sosial dan prioritas-prioritas di dalam negeri. Atau lagi, Bertha Mason, istri Rochester yang gila dalam Jane Eyre, adalah seorang India Barat, dan juga merupakan sosok yang mengancam, yang dikurung di ruang atap. Tokoh Joseph Sedley dalam karya Tachkeray Vanity Fair, adalah seorang nabob India yang perilakunya yang suka ribut dan kekayaannya yang melimpah ruah (yang barangkali tidak semestinya) dipertemukan dengan sikap Becky yang suka berliku-liku, yang pada gilirannya dikontraskan dengan Amelia yang punya hak sebagai pemilik, pada akhirnya mendapat imbalan yang sepadan; Joseph Dobbin terlibat di akhir novel menyibukkan diri dengan menulis sejarah Punjab dalam ketenangan. Kapal yang bagus Rose dalam karya Charles Kingsley Westward Ho! berkelana di wilayah Karibia dan Amerika Selatan. Dalam karya Dickens Great Expectations, Abel Magwitch adalah narapidana yang dikirim ke Australia yang kekayaannya---yang dengan mudah sekali dipindahkan dari keberhasilan-keberhasilan Pip sebagai pemuda kampung yang berjaya di London dengan menyamar sebagai seorang pria terhormat---secara ironis memungkinkan harapan-harapan Pip terwujud. Dalam banyak novel Dickens lainnya para penguasa mempunyai hubungan dengan imperium; Dombey dan Quilp merupakan dua contoh yang patut dicatat. Bagi Disraeli dalam karyanya Tancred dan Eliot dalam karya-karyanya Daniel Deronda dunia Timur sebagian adalah habitat bagi bangsa-bangsa pribumi (atau populasi imigran Eropa), tetapi sebagian juga digabungkan di bawah kekuasaan imperium. Tokoh Henry James, Ralph Touchett, dalam Portrait of a Lady berkelana di Aljazair dan Mesir. Dan ketika kita sampai pada Kipling, Conrad, Arthur Conan Doyle, Rider Haggard, R.L. Stevenson, George Orwell, Joyce Cary, E.M. Foster, dan T.E. Lawrence, imperium merupakan latar penting dalam seluruh karya mereka.
Situasi di Prancis berbeda, karena bakat imperial Prancis selama awal abad kesembilan belas berbeda dengan bakat imperial Inggris, yang ditopang sedemikian rupa oleh kesinambungan dan kestabilan pemerintahan Inggris sendiri. Kemunduran-kemunduran politik, kekalahan-kekalahan koloni, ketidakamanan harta benda, dan pergeseran-pergeseran dalam filsafat yang menimpa Prancis semasa Revolusi dan era Napoleon mengandung arti bahwa imperiumnya mempunyai jati diri dan kehadiran yang kurang aman dalam kebudayaan Prancis. Pada Chateaubriand dan Lamartine kita mendengar retorika kemegahan imperial; dan dalam lukisan, dalam tulisan historis dan apologetik, dalam musik dan teater, kita sering menyaksikan kekhawatiran yang nyata akan harta kekayaan Prancis. Namun, dalam kebudayaan pada umumnya---hingga setelah pertengahan abad itu---sudah langka ditemui perasaan yang berat dan hampir filosofis menyangkut misi imperial yang kita temui di Inggris.
Ada juga sekumpulan karya tulis Amerika yang sezaman dengan karya-karya Inggris dan Prancis ini, yang menunjukkan suatu warna imperial yang sangat kental, meskipun secara paradoksal sikap antikolonialnya yang ganas, yang ditujukan pada Dunia Lama, sangat menentukan di situ. Kita memikirkan, misalnya, tentang 'perjalanan menuju belantara' Puritan dan, di kemudian hari, tentang keprihatinan yang luar biasa obsesif pada Cooper, Twain, Melville, dan yang lain-lain dengan ekspansi Amerika Serikat ke barat, sejalan dengan penjajahan dan penghancuran besar-besaran kehidupan Amerika asli (yang secara mengesankan ditelaah oleh Richard Slotkin, Patricia Limerick, dan Michael Paul Rodgin[1]): sebuah motif imperial muncul menyaingi Eropa. (Dalam Bab Empat buku ini saya akan membicarakan tentang aspek-aspek lain yang lebih mutakhir mengenai Amerika Serikat dalam bentuk imperial akhir abad kedua puluhnya).
Sebagai acuan, sebagai pokok definisi, sebagai suatu bagian perjalanan, kekayaan, dan pelayanan yang dengan mudah diterima, imperium bagi kebanyakan orang Eropa abad kesembilan belas berfungsi sebagai kehadiran yang tersusun dalam karya fiksi, persis seperti para pelayan di sebuah rumah tangga besar dan dalam novel-novel, yang pekerjaannya dianggap sudah semestinya, namun sering seringkali hanya disebut-sebut, jarang ditelaah (meskipun Bruce Robbins belum lama ini menulis tentang mereka[2]) atau diberi bobot. Mengutip analog lain yang membangkitkan minat, harta kekayaan imperial itu ada, anonim, dan kolektif, sebagaimana penduduk buangan (yang dianalisis oleh Gareth Stedman Jones[3]) yang terdiri atas para pekerja sementara, pegawai-pegawai paruh waktu, seniman-seniman musiman, eksistensi mereka selalu diperhitungkan, meski nama dan jati diri mereka tidak, mereka menguntungkan tanpa berada di sana sepenuhnya. Ini merupakan suatu padanan sastra, dalam kata-kata yang agak memuji diri dari Eric Wolf, mengenai 'bangsa tanpa Sejarah',[4] yaitu orang-orang yang kepada mereka ekonomi dan politik yang ditunjang oleh imperium bergantung, namun yang realitasnya secara historis maupun kultural belum pernah menuntut perhatian.
Dalam semua kejadian ini fakta-fakta imperium dikaitkan dengan pemilikan yang berlarut-larut, dengan ruang-ruang yang terbentang jauh dan kadang-kadang tidak diketahui, dengan manusia-manusia yang eksentrik dan tidak dapat diterima, dengan aktivitas-aktivitas yang mendatangkan keuntungan dan dikhayalkan seperti imigrasi, usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan, dan petualangan seks. Pemuda-pemuda pembawa aib dikirimkan ke koloni-koloni, anggota-anggota keluarga lain yang busuk pergi ke sana untuk meraih kembali kekayaan yang hilang (seperti dalam karya Balzac La Cousine Bette), kelana-kelana muda yang bersemangat pergi ke sana untuk berfoya-foya dan bermain gila. Wilayah-wilayah kolonial adalah bidang-bidang kemungkinan, dan mereka selalu dikaitkan dengan novel realistik. Robinson Crusoe pada dasarnya tak terpikirkan tanpa adanya misi penjajahan yang memungkinkan dirinya menciptakan suatu dunia baru miliknya sendiri di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan di belantara Afrika, Pasifik, dan Atlantik. Tetapi, kebanyakan novelis realistik besar abad kesembilan belas kurang begitu tegas tentang pemerintahan dan pemilikan kolonial dibanding Defoe atau para penulis belakangan seperti Conrad dan Kipling, yang pada masa mereka reformasi besar dalam pemilihan umum dan peran serta massa dalam politik mengandung arti bahwa persaingan imperial menjadi topik dalam negeri yang lebih intrusif. Pada tahun terakhir abad kesembilan belas, ketika perebutan Afrika, konsolidasi Perserikatan imperial Prancis, aneksasi Amerika atas Filipina dan pemerintahan Inggris atas anak benua India sedang mencapai puncaknya, imperium adalah suatu permasalahan universal.
Yang ingin saya kemukakan adalah bahwa realitas-realitas kolonial dan imperial ini diabaikan dalam kritik yang mestinya dapat menjadi luar biasa cermat dan kaya dalam menemukan tema-tema untuk dibahas. Para penulis dan kritikus yang relatif sedikit yang membahas hubungan antara kebudayaan dan imperium---di antaranya Martin Green, Molly Mahood, John McClure, dan terutama Patrick Bantlinger---telah memberikan sumbangsih yang sangat bagus, namun cara mereka pada dasarnya bersifat naratif dan deskriptif---dengan menunjukkan adanya tema-tema, makna dari gabungan kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan dalam sejarah, pengaruh atau desakan gagasan-gagasan mengenai imperialisme---dan mereka meliputi bahan yang amat luas.[5] Dalam hampir semua kasus mereka menulis secara kritis tentang imperialisme, tentang gaya hidup yang digambarkan oleh William Appleman Williams sebagai yang sesuai dengan segala jenis rayuan ideologi lainnya, bahkan yang antinomi, sehingga sepanjang abad kesembilan belas 'jangkauan imperial mendesaknya untuk mengembangkan suatu ideologi yang tepat' yang sesuai dengan metode-metode militer, ekonomi, dan politik. Semua ini memungkinkan untuk 'melestarikan dan mengembangkan imperium tanpa menyia-nyiakan substansi psikis atau budaya atau ekonominya'. Terdapat isyarat-isyarat dalam karya para sarjana ini bahwa, lagi-lagi dengan mengutip Williams, imperialisme melahirkan citra diri yang menyulitkan, misalnya, dari 'seorang polisi progresif yang baik'.[6]
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar