Jumat, 06 Februari 2015

I. Imperium, Geografi, dan Kebudayaan

Berpaling ke masa lalu merupakan salah satu strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini. Yang menggerakkan sikap ini bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan seperti apa masa lalu itu, melainkan ketidakpastian mengenai apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih berlanjut, meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Masalah ini menimbulkan segala bentuk diskusi---mengenai sejarah, mengenai penimpaan kesalahan dan penilaian, mengenai aktivitas-aktivitas masa kini dan prioritas-prioritas masa depan.

Di dalam salah satu esai kritis awalnya yang paling terkenal, T.S. Eliot menampilkan sekumpulan masalah yang sama dan, meskipun kejadian serta niatan dari esainya itu hampir sepenuhnya bersifat estetis, kita dapat menggunakan rumusan-rumusannya untuk menginformasikan bidang-bidang pengalaman yang lain. Penyair, kata Eliot, jelas adalah suatu bakat individu, tetapi dia bekerja di dalam suatu tradisi yang tidak dapat semata-mata diwarisi melainkan hanya dapat dicapai 'dengan usaha keras'. Tradisi, lanjutnya,

melibatkan, pertama-tama, makna sejarah, yang dapat kita anggap hampir tidak dapat ditinggalkan oleh setiap orang yang ingin terus menjadi seorang penyair selepas usianya yang kedua puluh lima; dan makna sejarah yang melibatkan suatu persepsi, bukan hanya mengenai keberlaluannya masa lalu, melainkan mengenai kehadirannya; makna sejarah mendorong manusia untuk menulis bukan hanya bersama generasi di masa hidupnya sendiri, melainkan dengan suatu perasaan bahwa seluruh kesusastraan Eropa dari Homer dan di dalamnya seluruh kesusastraan dari negerinya sendiri mempunyai suatu eksistensi simultan dan membentuk suatu tatanan simultan. Makna sejarah, yang merupakan makna menyangkut sesuatu yang abadi serta yang sementara dan mengenai yang abadi dan sementara sekaligus, inilah yang membuat seorang penulis menjadi tradisional. Dan pada saat yang sama, hal itulah yang membuat seorang penulis sangat sadar akan tempatnya dalam ruang dan waktu, dalam kekiniannya.
Tidak ada penyair, tidak ada seniman dari cabang seni apa pun, yang menyimpan makna lengkapnya sendiri.[1]

Tekanan uraian ini juga ditujukan, saya kira, kepada para penyair yang berpikir secara kritis dan sekaligus kepada kritikus yang karyanya diarahkan pada apresiasi cermat terhadap proses puitis. Gagasan utamanya adalah bahwa bahkan ketika kita harus sepenuhnya memahami keberlaluan masa lalu, tidak ada jalan yang adil untuk dapat mengkarantinakan masa lalu dari masa kini. Masa lalu dan masa kini saling memberi informasi, masing-masing menyiratkan yang lain dan, dalam makna ideal sepenuhnya yang dimaksudkan oleh Eliot, masing-masing hidup berdampingan dengan yang lain. Yang disarankan Eliot, pendeknya, adalah suatu visi tradisi sastra yang, meskipun tanggap terhadap suksesi temporal, tidak sepenuhnya diatur olehnya. Baik masa lalu maupun masa kini, baik penyair ataupun seniman, tidak akan mempunyai makna penuh sendiri.

Sintesis Eliot atas masa lalu, masa kini, dan masa depan, bagaimanapun juga, adalah idealistis dan dengan cara-cara yang penting merupakan kunci sejarah khususnya sendiri;[2] juga, konsepsinya mengenai waktu menyingkirkan perjuangan yang dengannya individu-individu dan institusi-institusi memutuskan apa yang dianggap tradisi dan apa yang dianggap tidak, apa yang relevan dan apa yang tidak. Namun, gagasan pokoknya adalah benar: cara kita merumuskan atau melukiskan masa lalu membentuk pemahaman dan pandangan kita tentang masa kini. Coba saya beri contoh. Selama terjadi Perang Teluk pada 1990-1991, bentrokan antara Irak dan Amerika Serikat merupakan satu fungsi dari dua sejarah yang saling bertentangan secara mendasar, masing-masing dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan oleh pemerintah resmi masing-masing negara. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Partai Baath Irak, sejarah Arab modern menunjukkan janji yang tak terpenuhi akan kemerdekaan Arab, sebuah janji yang dihujat baik oleh 'Barat' maupun seluruh jajaran musuh yang lebih baru, seperti reaksi Arab dan Zionisme. Pencaplokan berdarah Irak atas Kuwait, karenanya, dibenarkan bukan hanya atas dasar pemikiran gaya Bismarck melainkan juga karena diyakini bahwa bangsa Arab harus meluruskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan atas diri mereka dan merebut dari imperialisme salah satu hadiahnya yang terbesar. Sebaliknya, menurut pandangan Amerika mengenai masa lalu, Amerika Serikat bukanlah suatu kekuatan imperial klasik, melainkan pelurus kesalahan-kesalahan yang dilakukan di seluruh dunia, dalam mengejar kelaliman, mempertahankan kebebasan di mana pun dan dengan biaya berapa pun. Perang, tak terhindarkan lagi, mengadu kedua versi tentang masa lalu itu.

Gagasan-gagasan Eliot mengenai kompleksitas hubungan antara masa lalu dan masa kini sangat sugestif dalam perdebatan tentang makna 'imperialisme', sebuah kata dan gagasan yang begitu kontroversial saat ini, begitu penuh dengan segala macam pertanyaan, keraguan, polemik, dan premis-premis ideologis sehingga hampir menentang penggunaannya sekaligus. Sampai batas tertentu perdebatan-perdebatan itu menyangkut definisi-definisi dan usaha-usaha untuk menentukan batasan dari gagasan itu sendiri: apakah imperialisme itu pada pokoknya ekonomis, sejauh mana ia berkembang, apakah sebab-sebabnya, apakah ia sistematis, kapan (atau apakah) ia berakhir? Gemuruh nama para tokoh yang telah memberikan sumbangan pada diskusi di Eropa dan Amerika itu sangat mengesankan: Kautsky, Hilferding, Luxemburg, Hobson, Lenin, Schumpeter, Arendt, Magdoff, Paul Kennedy. Dan dalam tahun-tahun belakangan ini karya-karya semacam itu yang dipublikasikan di Amerika Serikat seperti karya Paul Kennedy The Rise and Fall of the Great Powers, sejarah revisionis William Appleman Williams, Gabriel Kolko, Noam Chomsky, Howard Zinn, dan Walter Lefeber, dan pembelaan atau penjelasan yang gigih tentang kebijaksaan Amerika sebagai nonimperialis yang ditulis oleh banyak ahli strategi, teoritikus, dan orang-orang suci---semua ini telah membuat masalah imperialisme, dan kemungkinannya untuk diterapkan (atau tidak) pada Amerika Serikat, adidaya utama zaman ini, hidup subur.

Para ahli ini terutama memperdebatkan masalah politik dan ekonomi. Namun, jarang sekali diberikan perhatian pada apa yang saya yakin merupakan peranan istimewa dari kebudayaan dan pengalaman imperial modern, dan sedikit sekali pemikiran yang diarahkan pada kenyataan bahwa jangkauan global yang luar biasa dari imperialisme klasik Eropa abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh masih menghamparkan bayangan besar di masa kita ini. Hampir tidak ada orang Amerika Utara, Afrika, Eropa, Amerika Latin, India, Karibia, Australia---daftarnya masih sangat panjang,---yang hidup sekarang ini yang belum pernah tersentuh oleh imperium-imperium masa lalu. Inggris dan Prancis di antaranya menguasai wilayah yang sangat luas: Kanada, Australia, Selandia Baru, koloni-koloni di Amerika Utara dan Selatan serta Kepulauan Karibia, beberapa petak besar di Afrika, Timur Tengah, Timur Jauh (Inggris menguasai Hong Kong sebagai koloni sampai 1997), dan anak benua India seluruhnya---semua itu berada di bawah kekuasaan dan pada waktunya dibebaskan dari pemerintahan Inggris atau Prancis; selain itu, Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara Eropa yang lebih kecil, belum lagi Jepang dan Turki, juga merupakan kekuatan-kekuatan imperial selama sebagian atau sepanjang abad kesembilan belas. Pola dominasi atau pemilikan ini meletakkan landasan bagi apa yang kini menjadi satu dunia global sepenuhnya. Komunikasi elektronik, perdagangan global, tersedianya sumber daya, meluasnya sarana perjalanan dan informasi mengenai pola-pola cuaca serta perubahan teknologi telah menggabungkan jadi satu bahkan sudut-sudut terpencil dunia ini. Perangkat pola-pola ini, saya yakin, pertama kali dirintis dan dimungkinkan oleh adanya imperium-imperium modern.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar