Selasa, 10 Februari 2015

V. Mengaitkan Imperium dengan Penafsiran Sekular

Lama sebelum Perang Dunia Kedua hingga awal 1970-an, tradisi utama telaah-telaah kesusastraan komparatif di Eropa dan Amerika sangat dikuasai oleh suatu gaya ilmu pengetahuan yang kini sudah hampir hilang. Ciri utama gaya yang lebih kuno itu adalah bahwa ia pada prinsipnya adalah ilmu pengetahuan, dan bukan apa yang kita sebut kritik. Tak seorang pun di masa sekarang ini dilatih sebagaimana Erich Auerbech dan Leo Spitzer, dua komparatis besar Jerman yang mengungsi ke Amerika Serikat akibat fasisme: inilah fakta kuantitatif sekaligus kualitatif. Sementara para komparatis masa kini akan mengetengahkan kualifikasi-kualifikasinya dalam Romantisme antara 1795 dan 1830 di Prancis, Inggris, dan Jerman, komparatis masa lalu kemungkinan besar, pertama-tama, menelaah periode sebelumnya; kedua, ikut magang lama dengan berbagai ahli filologi di berbagai universitas dalam berbagai bidang selama bertahun-tahun; ketiga, mempunyai landasan kuat dalam semua atau hampir semua bahasa klasik, bahasa-bahasa daerah Eropa awal, dan karya-karya sastra mereka. Komparatis awal abad kedua puluh adalah seorang filolog yang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Francis Fergusson dalam suatu tinjauan atas karya Auerbach Mimesis, begitu pandai dan mempunyai stamina demikian besar sehingga membuat '"sarjana-sarjana" yang paling keras pendiriannya---mereka yang berpura-pura dengan wajah yang sangat jujur menyimpan semangat dan kedalaman ilmiah---[tampak] malu-malu dan santai.[44]

Di belakang sarjana-sarjana semacam itu adalah suatu tradisi yang bahkan lebih panjang mengenai pengetahuan kemanusiaan yang berasal dari perkembangan antropologi sekular---yang mencakup suatu revolusi dalam disiplin-disiplin filologi---yang kita kaitkan dengan akhir abad kedelapan belas dan dengan tokoh-tokoh seperti Vico, Herder, Rousseau, dan Schlegel bersaudara. Dan yang mendasari karya mereka adalah keyakinan bahwa umat manusia membentuk suatu keseluruhan yang menakjubkan, yang hampir simfonis sifatnya, yang kemajuan dan formasinya, lagi-lagi sebagai suatu keseluruhan, dapat ditelaah secara eksklusif sebagai suatu pengalaman sejarah bersama dan sekular, bukan sebagai contoh ilahiah. Karena 'manusia' telah membuat sejarah, ada satu cara hermenetik khusus untuk menelaah sejarah yang berbeda maksud dan metodenya dengan ilmu pengetahuan alam. Wawasan-wawasan pencerahan besar ini menjadi tersebar luas dan diterima di Jerman, Prancis, Italia, Rusia, Swiss, dan selanjutnya, Inggris.

Bukan merupakan vulgarisasi sejarah jika kita katakan bahwa alasan utama pandangan mengenai kebudayaan manusia semacam itu yang menjadi lazim di Eropa dan Amerika dalam beberapa bentuk yang berbeda selama masa dua abad antara 1745 dan 1945 adalah kebangkitan nasionalisme yang sangat mencolok dalam periode yang sama. Hubungan timbal balik antara ilmu pengetahuan (atau kesusastraan, dalam hal itu) dan lembaga-lembaga nasionalisme belum ditelaah secara sungguh-sungguh sebagaimana seharusnya, namun bagaimanapun juga sudah jelas sekali bahwa ketika kebanyakan ahli pikir Eropa mengagungkan kemanusiaan atau kebudayaan mereka, pada prinsipnya mereka mengagungkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang mereka ANGGAP berasal dari kebudayaan mereka sendiri, atau dari kebudayaan Eropa yang sangat BERBEDA dari kebudayaan Timur, Afrika, dan bahkan kebudayaan Amerika. Yang terutama menggerakkan telaah saya mengenai Orientalisme adalah kritik saya atas sikap di mana yang diyakini sebagai universalisme bidang-bidang seperti kesusastraan klasik (belum lagi historiografi, antropologi, dan sosiologi) bersifat Eurosentris secara ekstrem, seakan-akan kesusastraan-kesusastraan dan masyarakat-masyarakat lain mempunyai nilai yang lebih rendah. Bahkan para komparatis yang terlatih dalam tradisi bergengsi yang menghasilkan Curtius dan Auerbach menunjukkan minat yang sangat kecil terhadap teks-teks Asia, Afrika, atau Amerika Latin.) Dan ketika persaingan nasional dan internasional antara negeri-negeri Eropa meningkat pada abad kesembilan belas, meningkat pula intensitas persaingan antara satu tradisi penafsiran ilmiah dengan tradisi penafsiran ilmiah yang lain. Polemik Ernest Renan mengenai tradisi Jerman dan Yahudi adalah contoh yang cukup terkenal dalam hal ini.

Tetapi, nasionalisme yang sempit dan sering lengking ini sesungguhnya dinetralkan oleh suatu visi budaya yang lebih banyak yang diketengahkan oleh nenek moyang intelektual Curtius dan Auerbach, para sarjana yang gagasan-gagasannya muncul di Jerman masa praimperial (barangkali sebagai kompensasi bagi penyatuan politis yang tidak menyertakan negeri itu), dan, tak berapa lama kemudian, di Prancis. Para ahli pikir ini menganggap nasionalisme ini hanya bersifat sementara, sebagai masalah sekunder: yang jauh lebih penting adalah persatuan orang-orang dan semangat yang melampaui lingkup politik yang busuk yaitu birokrasi, tentara, perintang adat, dan xenofobia. Di luar tradisi katolik ini, yang kepadanya para ahli pikir Eropa (yang bertentangan dengan para ahli pikir nasional) berpaling ketika terjadi konflik tajam, muncul gagasan bahwa telaah kesusastraan komparatif dapat melengkapi perspektif transnasional, dan bahkan transhuman, menyangkut daya guna kesusastraan. Dengan demikian, gagasan tentang kesusastraan komparatif bukan hanya mengungkapkan sifat universal dan jenis pemahaman yang didapat oleh para ahli filologi mengenai keluarga-keluarga bahasa, melainkan juga melambangkan ketenangan bebas krisis dari suatu bidang yang hampir ideal. Berdiri di atas masalah-masalah politis berwawasan sempit adalah semacam Firdaus antropologi di mana kaum pria dan wanita dengan senang hati menghasilkan sesuatu yang dinamakan kesusastraan, dan suatu dunia yang oleh Matthew Arnold dan murid-muridnya ditandai sebagai dunia 'kebudayaan', di mana 'yang terbaik yang dipikirkan dan diketahui' mudah diterima.

Gagasan Goethe mengenai Weltliteratur---sebuah konsep yang mengemukakan secara tidak jelas pendapat tentang 'buku-buku besar' dan suatu paduan yang kabur dari seluruh kesusastraan dunia---adalah sangat penting bagi para sarjana profesional mengenai kesusastraan komparatif pada awal abad kedua puluh. Namun, toh, sebagaimana telah saya sarankan, makna praktis dan ideologi operasionalnya adalah bahwa, sepanjang menyangkut kesusastraan dan kebudayaan, Eropalah yang memimpin dan merupakan subjek kepentingan utama. Di dunia para sarjana besar seperti Karl Vossler dan De Sanctis, adalah Romania yang paling memungkinkan dan menjadi pusat pengelompokan besar kesusastraan yang dihasilkan seluruh dunia; Romania menjadi dasar bagi Eropa, sebagaimana (dengan cara sebaliknya) Gereja dan Imperium Suci Romawi menjamin integritas inti kesusastraan Eropa. Pada tingkat yang lebih dalam lagi, dari Inkarnasi Kristen itulah kesusastraan realistik Barat, sebagaimana yang kita kenal, muncul. Tesis yang sangat maju ini menjelaskan makna penting Dante bagi Auerbach, Curtius, Vossler, dan Spitzer.

Karena itu, berbicara tentang kesusastraan komparatif berarti berbicara tentang interaksi kesusastraan dunia antara satu dengan yang lain, tetapi bidang itu secara epistemologis terorganisasi sebagai semacam hierarki, dengan Eropa dan kesusastraan-kesusastraan Latinnya berada di pusat dan di puncaknya. Ketika Auerbach dalam sebuah esai terkenal berjudul "Philologie der Weltlitetur', yang ditulis setelah Perang Dunia Kedua, mencatat tentang betapa banyak bahasa dan literatur 'lain' yang tampaknya telah muncul (seakan-akan dari suatu tempat antah berantah: dia tidak menyebut-nyebut tentang kolonialisme atau dekolonisasi) dia mengungkapkan lebih banyak kemarahan dan ketakutan daripada kesenangan terhadap prospek dari apa yang ia tampak sangat sungkan mengakuinya. Romania terancam.[45]

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar